Curaian berladang padi; mulai dari sejarah masa lalu hingga masa depan bangsa Melayu.

PASIRPENGARAIAN – Saya tegaskan: “Adat bangsa Melayu hanya dapat tegak dengan sebab adanya orang-orang yang masih mengekalkan berladang padi”. Sendi-sendi adat ada terhimpun pada kerja bertanam padi itu. Bangsa Melayu bangsa beradat dan bersyariat, bukan adat semata-mata. Berhati-hatilah bila kita bersinggungan dengan adat, apalagi melangkahi syariat hukum Allah. Bila dikatakan orang bahwa berladang padi bukan bagian adat Melayu di Sungai Rokan, orang itu tidak berhak berbicara karena dia sama sekali tidak tahu.

Bila tuan berkesempatan keluar dari pintu rumah, maka jejakkan telapak kaki tuan tanpa alas ke atas paras tanah bumi Melayu, lalu angkat kaki tuan sebelah. Jika terdengar oleh tuan dan puan, dulu debu tanah itu berkata “ini tanah bumi Melayu, tanah mulia anugerah Allah”, maka silahkan tersenyumlah, bahwa senyatanya tuan InsyaAllah beroleh selamat dunia akhirat. Itulah bumi yang telah memberi insan makan dari tumbuhnya padi dan berladang padi yang dikekalkan ribuan tahun.

Berladang padi harus menurut aturan sepanjang adat. Saya akan tunjukkan beberapa buku dan ruas pemaparan, dan harus dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi kita yang mengaku berbangsa Melayu, beradat Melayu dan beragama Islam. Atau kepada siapa saja, tanpa terkecuali suku dan bangsanya, yang hidup dan bernaung di Alam Bumi Melayu ini wajib tahu jua adanya. Tak pilih apakah dia jelata (rakyat) atau penghulu (pemimpin) dan pandita (ulama).

1. “Boladang padi, dari ikuo taun kopalo taun” (berladang padi sejak dari ekor tahun kepala tahun; bersambung-sambung setiap tahun). Apa maknanya?; bahwa berhentilah meniru ucapan kolonial yang mengatakan Melayu bangsa pemalas. Menebang rimba gana dengan peralatan sederhana (bukan mesin) dan memelihara ladang padi hingga menuai selama enam bulan penuh. Enam bulan selanjutnya pula berparak berkebun segala macam jenis tanaman. Baik berladang maupun berkebun tiada pernah menimbulkan kerusakan apapun karena ianya diatur oleh adat dan syari’at! Komparasikan oleh tuan dengan cara pertanian dan perkebunan kontemporer. Adakah mempertimbangkan azas adat dan syari’at?

2. Tapak lapan orang Melayu adalah “berladang padi”. Maknanya; tapak lapan bangsa Melayu bukan niaga, bukan makan gaji, bukan membangun perkebunan besar-besaran, bukan menjulangkan gedung tinggi-tinggi, bukan duduk di jabatan pemerintahan, bahkan sama sekali bukan dengan cara menjajah dll. Makna tapak lapan adalah; mata kerja pilihan utama yang tidak boleh ditinggalkan atau diabaikan. Dibenarkan melakukan pilihan aktifitas lain, namun tapak lapan harus tetap ditunggui. Berladang padi adalah pokok pangkal aktifitas kebudayaan Melayu yang paling bersahaja dan mengusung  tabi’at yang bersih. Mengapa tapak lapan Melayu ini sekarang dilarang?

3. Jatuhlah musim berladang pada Zulka’idah dengan Zulhijjah. Apa hakikatnya? Bulan Zulka’idah dan Zulhijjah masuk dalam tiga urutan bulan-bulan haram dalam Islam, dimulai dengan Muharram. Bulan suci lagi penuh kemuliaan di dalamnya. Amalan-amalan baik dilipatgandakan pahalanya oleh Allah. Di dalamnya ada larangan berperang (tidak boleh berselisih faham) apalagi melakukan tindakan zholim aniaya, baik kepada sesama manusia maupun hewan dan tumbuhan (segala makhluk Allah). Keutamaan lainnya adalah bahwa Allah berjanji bersua dengan Musa AS pada bulan Zulka’idah hingga masuk sepuluh malam dalam bulan Zulhijjah. Bulan Zulhijjah adalah bulan haram  dan bulan suci dalam urutan ketiga selain Rajab yang dimaklumi oleh segenap umat Islam di seluruh penjuru dunia. Dalam bulan ini tiada boleh memaki hamun, mencerca mencela, berbuat fasik, atau bersitegang urat leher. Maka, orang-orang Melayu mulai membuat mufakat untuk membuka ladangnya dengan menurut aturan sepanjang adat pada Zulka’idah dan atau Zulhijjah!Adapun makna Zulka’idah adalah “penghulu gencatan senjata” dalam arti lain adalah “penghulu perdamaian” (lord and master of peace). Jika kita berkehendak membuat symbol of Malay justice and peace seharusnya adalah memakai ikon benih padi, bukan lady of justice yang bertutup mata (seolah tak perlu tahu menahu) menggenggam pedang (perang) beserta neraca timbangan (niaga).

4. “Bukan kayo dek omeh dan perak, kayo dek boreh padi” (bukan kaya karena emas dan perak, tapi kaya beras padi). Apa i’tibarnya? Sekaya-kaya orang sebab niaga dan perkebunan atau pertambangan, tiada semulia kaya sebab melimpah beras dan padi.

5. Disebut negeri sentausa karena “anak buah kembang, padi menjadi”. Maksudnya? Bangsa Melayu sentausa dan dirahmati Allah sebab diadakannya “jasa beras padi”, tanggungan nasi yang menumbuhkan dan memelihara insan. Makanan dari bumi dan sebab curah hujan dari langit. “Makan petani” adalah istilah kebudayaan yang teramat sangat mulia. Sebab “makan petani” ini pula maka dalam bangsa Melayu lahir para wali-wali Allah, para tuan syaikh, tuan-tuan guru, mursyid-mursyid, akuan-akuan, orang-orang keramat, orang-orang sholeh, raja-raja adil, bangsawan bermartabat, datuk dan ninik mamak yang penyayang kepada seluruh anak kemenakannya, serta melahirkan bangsa yang lembut lagi rendah hati. Itulah maka Melayu disebut bangsa yang dipenuhi oleh rahmat Allah.

6. “Nak boladang, tuntuik elemu padi” (hendak berladang, tuntutlah ilmu padi). Maknanya? Berladang padi bukanlah pertanian tanpa aturan dan ilmu asal usul cocok tanam. Tidak seperti menanam kelapa sawit yang boleh dilakukan di segala musim bahkan mengusung nafsu bertanam pribadi. Berladang padi ibarat ibadah yang sudah ditetapkan Allah waktu-waktunya. Di dalamnya ada sikap hidup saling bertolong gega (jopuik porari).

7. Berladang padi disebut “tunang harapan”. Artinya; sejak dahulu bangsa Melayu telah memahami urusan ketahanan pangan. Segala harapan hajat hidup teramat sangat bergantung pada sumber makanan pokok ini. Tiada tergantikan oleh sagu rumbia, ubi dan keledek, atau jagung sekalipun. Adapun hari ini, bangsa Melayu menjadi lemah sebab tiada lagi bergantung pada azas dasar padi, melainkan pada pola perkebunan atas tuntutan industri dan project kapitalis. Alhasil, hancur lebur punah ranah hakikat dan makrifat adat sejati sebab berlebih memandang uang dan harta benda. Hajat dan harap di padi beralih menjadi harap uang dan kemuliaan sebab harta benda. Jelata Melayu hari ini masuk terpuruk dalam perangkap tradisi berhutang hanya demi sekadar memenuhi hajat hidup keseharian. Hutang sana hutang sini, gali lobang tutup lobang,bon dari kedai ke kedai, pinjam dari kawan satu ke kawan lain, harap dibantu pada kaum kerabat atau ke orang lain.

8. Bahkan raja-raja Melayu juga berladang padi. Ini adalah sejarah emas besar bangsa Melayu di Sungai Rokan. Sebab bertani itu maka seorang raja berdaulat memiliki rasa belas kasih pada rakyatnya, dan inilah yang disebut raja adil. Kehancuran peradaban Melayu mulai rusak sejak kolonial Eropa mencucuk hidung para raja, bangsawan, datuk-datuk serta orang-orang besar dengan janji dan gaji dinilai dirham dinar atau dolar benggol (fulusisme). Atau hari ini sebab janji-janji semu sebelit pinggang dan selangkang kita, yang kain bongkong barutnya bergelar “kontestasi politik praktis”.

9. Orang Melayu berladang luas, disebut banjar ladang. Setiap banjar berpengetuan yang disebut penghulu banjar. Tahukah tuan bahwa perkampungan-perkampungan Melayu bahkan tapak kerajaan-kerajaan Melayu di Sungai Rokan berdiri dari bekas tanah peladangan. Maka sebab itu pranata sosial di banjar ladang sama seperti di korong kampong dan negeri-negeri jua, sebab ada bertegak pongulu (penghulu), imam, kotik (khotib), bila (bilal), datu dan bidan.

10. Berladang padi bukan hanya soal tradisi warisan, melainkan ada perintah Allah pada orang Melayu, sekaligus dimaksudkan untuk mendukung tetap tegaknya azas adat yang bermartabat. Aturan adat ada yang lahirnya sebab disusun dari sejarah asal usul padi. Sebab itu, teramat pandirlah kita atau siapapun yang menyangka bahwa padi tidak memberi sumbangan kisah apa-apa dalam sejarah panjang adat Melayu. Berladang padi adalah nilai harga martabat yang tidak boleh digantikan dengan nilai harga yang diusung siang malam oleh masyarakat urban.

11. Tegak kepuk besar, ada harapan orang sekampung tak lapar. Terbantu tertolong orang yang solang monyolang (pinjam meminjam). Amalan paling besar dalam mua’amalah (humanisme) adalah soal memberi makan (tho’am), bukan berbagi-bagi sebaran amplop berisi uang. Makna amal shodaqoh yang utama “memberi nafkah pada keluarga” adalah; memenuhi hajat makan minum keluarganya, bukan memberi shodaqoh uang untuk memenuhi hasrat nafsu kontemporer mutakhir. Hanya saja, kita senang terlena dan rela tersesat sebab memahami adat Melayu menggunakan perspektif akademik (etik), bukan melalui akar asal usul adat dan penjelasannya yang asli (emik).

Saya tidak hendak berpanjang lebar membuat ulas demi ulasan mengenai persoalan dan fenomena ragam insiden cobaan yang kita terima hari ini. Juga tidak terlalu berhasrat membahas penegakan hukum yang timpang dalam berbagai lapisan masyarakat kita. Akan tetapi, 11 poin dengan penjelasan ringkas tersebut setidaknya boleh menggetarkan sudut kalbu tuan-tuan pemegang jabatan atau gelar pangkat di Sungai Rokan ini. Berbuat baiklah senantiasa dan “pakai nurani” serta “neraca adil”  dan “pandangan yang tak berpaling” dalam setiap tindakan pengambilan keputusan. Demikian juga pada kita bangsa Melayu hendaklah kembali ke pangkal jalan dan mengkaji usut terakah asal usul martabat bangsa Melayu. Yang saya khawatirkan hanyalah bala musibah dan bencana menimpa setiap diri, keluarga, anak cucu, dan bangsa Melayu. Sebab kita menyia-nyiakan banyak hal dan perkara manfaat kebaikan. Demikian juga kekhawatiran pada orang-orang yang tiada menghargai dan tidak pernah mau memahami martabat Melayu, pasti jua akan menerima celaka yang sama pada saatnya. Cepat maupun lambat. Tingal menunggu padahnya.

Khusus untuk menutup uraian yang serba singkat ini, saya ingin menyampaikan satu kisah cerita yang mustahak, yakni soal “bencana asap”. Bahwasanya; “sejak zaman dahulu hingga tahun 1990-an, tiada pernah ada berita bencana asap dan kebakaran hutan hebat. Itu sebab dituruti dan dipatuhinya konsep ilmu padi atau ilmu berladang. Turun sejarah larangan pemerintah sebab disinyalir adanya efek dari proses membakar dan memerun. Tinggallah satu dua keluarga yang berladang demi mengelakkan “mati sengsara” sebab tak dapat makan. Sejak 1990-an hingga sekarang ada juga orang berladang padi dengan cara membakar robo (reba; tebangan) dengan izin sepengetahuan pihak penegak hukum, atau mereka yang sembunyi-sembunyi membakar perun-perun atau dengan cara membakar posoman (perun kecil), juga orang-orang yang berselindung dibalik bayangan orang-orang bagaknya. Akan tetapi, dalam rentang masa tradisi berladang yang kini hampir tiada, malah kebakaran dan bencana asap melanda”. Silahkan renungi dan muhasabahlah wahai kita dan para pemikul tanggungjawab umat ini, siapakah penyebab bencana? Atau katakanlah bahwa “Allah tengah menguji menasihati kita (Melayu), agar kembali ke pangkal jalan”.

Beberapa hari yang lalu, salah seorang perempuan peladang berkata di hadapan batang hidung saya, “SUNGGUH KEJAM DAN KEJINYA SEKARANG INI!”. Akhirnya tiada patut saya hanya berbuih kata-kata tanpa solusi. “Kita mufakatkan kembali, langkah-langkah dan kebijakan demi meraih kebajikan. Mulai dari pejabat pemerintahan, kaum adat, dan penegak hukum, beserta rakyat Melayu di Sungai Rokan, menetapkan keputusan bersama dan merumuskan aturan yang tiada berat menimpa “adat anak bumi Melayu Sungai Rokan”.

 

Ditulis oleh : Junaidi-Syam, ( Tokoh Budayawan Rohul) Pasirpengarayan, 2020