PASIRPENGARAIAN – Terkait Pemberitaan kasus penganiayaan oleh pelajar SMP terhadap bocah umur lima tahun di Rohul yang tidak tahu seperti apa ujungnya, membuat Kriminolog Universitas Riau, Dr Erdianto Effendi SH MH angkat bicara.
Menurut Dr Erdianto, alasan tidak bisa dilakukannya proses penegakan hukum bagi terduga pelaku pidana dengan status gangguan kejiwaan berdasarkan Pasal 44 Ayat 1 KUHP tidaklah bersifat mutlak.
“Apalagi, jika hal tersebut dijadikan dasar bagi seorang terduga pelaku pidana yang belum memiliki catatan gangguan kejiwaan sebelumnya,” jelas Dr Erdianto, Rabu (18/11/2020).
Di dalam Hukum Pidana Indonesia yang menganut paham dualistis, pembuktian dua arah baik dari sisi pelaku dan korban memang dibutuhkan.
“Dalam konteks penganiayaan anak di Rokan Hulu, mustinya proses pembuktian hukum di pengadilan harus dilalui terlebih dahulu,” jelasnya.
Artinya, yang dapat memutuskan pelaku mengalami gangguan kejiwaan dan proses hukumnya tak dapat berlanjut hanyalah pengadilan, bukan di tingkat Kejaksaan.
Apalagi, jika unsur-unsur pidananya terhadap penganiayaan berat di perkara tersebut sudah terpenuhi unsurnya.
“Mustinya, proses pembuktian tetap dilakukan melalui pengadilan. Dengan demikian, kepuasan masyarakat dalam mencari keadilan menjadi terpenuhi,” Tambah Dr Erdianto.
Begitu juga dengan pihak Kejaksaan, jika memang unsur pidananya terpenuhi, mustinya proses hukumnya bisa tetap berlanjut ke tingkat pembuktian.
Bukan justru menggugurkannya dengan alasan Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang mana pasal tersebut, jika dilanjutkan ke Ayat 2, diterangkan ‘Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa’.
“Dengan demikian, penegakan hukum dan pelayanan rasa keadilan dalam perkara tersebut dapat dilakukan melalui proses pengadilan, bukan di tingkat Kejaksaan,” tutupnya.