RAMBAHHILIR – Ibu dari anak yang ditangkap karena membakar lahan untuk berladang sempat menggadaikan rumahnya karena tidak mempunyai uang untuk makan.
Pembakar lahan di desa Muara Musu Timur kecamatan Rambah Hilir ini sudah diamankan polres Rohul lebih kurang satu bulan yang lalu. Adapun IW (21) seorang petani yang hendak membuka ladang di area tanah milik warga setempat.
Menurut IK (48), Ibu dari Iw mengaku tanah tersebut dipinjamnya dari SM yang hendak membuka kebun sawit. Sehingga SM meminjamkan tanah tersebut kepada IK sebagai tempat berladang terlebih dahulu.
“ Iya, kita meminjam tanah itu untuk membuka ladang. dan karena kebiasaan orang kita memorun (membakar dengan sistem menumpuk-numpukkan kayu kesatu tempat dan membakarnya). Maka kami porun terlebih dahulu,” jelas IK kepada Riausmart.com. Ahad (29/9/2019) di Tempat Kejadian Perkara (TKP) pembakaran.
IK mengaku lahan tersebut dibakar dalam 3 kali pembakaran dengan selisih waktu yang berbeda. Pembakaran pertama dibakar pada Juni 2019, dan kedua dibakar pada Juli 2019 serta pembakaran ketiga pada Agustus 2019. Naas cerita, pembakaran ketiga IW ditangkap pihak Polsek Rambah Hilir.
“ Kami kira dengan membakar sedikit nggak akan dipenjara. Karena orang kitapun kalau berladangkan biasanya dibakar,” ungkap IK.
IK juga memaparkan bahwa hutan yang dibakar tidak sampai dua hektar dan pembakaran tidak dibakar sekaligus melainkan tiga kali pembakaran.
IK mengaku sedih dan sering menangis bila mengingat anaknya masuk penjara. Mengingat IW adalah tulang punggung keluarga tersebut setelah ia berpisah dengan suaminya.
“ Itu anak saya sekaligus tulang punggung saya, kalau tidak ada dia. Darimana saya dapat makan. Sedangkan saya tinggal sendiri dirumah” jelas IK sambil meneteskan air mata.
Untuk saat ini IK juga telah menggadaikan rumahnya sebesar dua juta rupiah untuk kebutuhan rumah tangganya.
“ Saya butuh makan, dan setiap hari selasa saya mengantarkan makanan ke penjara untuk anak saya. Otomatis saya butuh uang. Sedangkan saya tidak bisa mencari uang” tambah IK meneruskan air matanya.
Dilokasi yang sama, Himpunan Mahasiswa Rambah Hilir (HIMAKRI) juga akan mengadakan penggalangan dana untuk membantu orang tua dari IW.
Sedangkan menurut Zainul Akmal SH MH, selaku Dosen Fakultas Hukum UR & Koordinator Gusdurian Pekanbaru mengatakan bahwa IW tidak layak untuk dipenjara.
“ Hal ini terkait UU pasal 69 ayat 1 huruf h tidak berdiri sendiri, karena ada ayat 2 yang menyatakan bahwa harus ada memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal daerah masing-masing,” jelas Zainul.
Menurut Zainul, Yang dimaksud pasal 69 ayat 2 tentang kearifan lokal adalah:
* melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga
* untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan
* dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.
“ Dari penjelasan di atas jelaslah IW tidak layak ditangkap & diadili dipengadilan, karena beberapa alasan
- IW membuka lahan kurang dari 1 ha,
- IW membuka lahan dengan kearifan lokal adat berladang Muara Musu,
- Metode membakar IW disebut dengan istilah mumorun artinya IW membakar dengan cara menyekat atau pembatas yang disebut dengan istilah sladangi
- IW tidak membakar sekaligus lahannya
- Proses membakar lahan dilakukan dalam 3 tahap dari habis lebaran Id Fitri sampai tahap ketiga 20 Agustus 2019, artinya lahan yang dibakar lebih kecil lagi, yaitu diperkirakan ⅓ ha dari jumlah keseluruhan lahan yang kurang 1 ha lahan yang dimilikinya
- Tidak ada api yang menjalar keluar lahan yang dibakarnya
- Tujuan pembakaran lahan adalah untuk menanam varietas lokal seperti padi untuk kebutuhan sehari keluarganya
- IW adalah tulang punggung keluarganya “ jelas Zainul Panjang lebar kepada Riausmart.com.
Menurut Zainul, Penangkapan IW tidak bisa disebut menegakkan hukum dengan kacamata kuda, namun lebih buruk dari itu. Sebab ada pasal yang membolehkan petani membuka lahan dengan cara membakar, asalkan luas maksimalnya 2 ha. Penangkapan tidak dilakukan dengan bijaksana oleh penegak hukum, karena tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal tentang adat berladang di Muara Musu.
“ Sebaiknya penegak hukum dalam hal ini polres Rohul mengembalikan IW ke keluarganya & meminta maaf atas apa yang sudah dilakukan.” Jelas Zainul.
Zainul juga memaparkan bahwa Penegakan hukum dengan tidak memahami hukum itu sendiri sama saja dengan melakukan kejahatan atas nama negara dan itu adalah pelanggaran HAM.
“ Kami juga berharap kepada Kapolda Riau baru dan Kapolri bisa lebih jernih melihat permasalahan ini, Sehingga selaku atasan dari Kapolres Rohul bisa mengingatkan bawahannya untuk tidak menegakkan hukum tanpa kebijaksanaan” tutup Zainul. (Dan)